calon utawi penganten anyar lan penganten
lawas.yoiku kudu iso nglakoni molimo (M 5)
Mlumah, Murep, Mancal, Mlebu, Metu.
maksudnya:
Mlumah : tabah lan sabar jika menghadapi ujian
di dlm berumah tangga.
Murep : menutupi aib atau kekurangan diantara
keduanya.
Mancal : gunakanlah kakimu untuk bekerja
mencari rejeki.
Mlebu : pemasukan dari hasil kerja,kalau ada
sisanya ditabung.
Metu : pengeluaran harus teliti jangan sampai
boros.
Berawal dari kehati-hatian menghadapi perkawinan itu pula, pujangga Jawa memberi rambu dalam memilih jodoh. Orang Jawa harus melihat dan mempertimbangkan obor-obor atau dom sumusupe banyu.
Ada tiga hal penting yang menjadi pertimbangan itu.
Pertama, Bobot.
Yakni menyeleksi kualitas calon pasangan pengantin. Hal ini sangat ditekankan terutama untuk calon pengantin laki-laki. Karena bahagia atau tidaknya seorang isteri sangat dipengaruhi oleh tingginya kualitas pendidikan dari sang suami. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kestabilitasan sosial ekonomi rumah tangga yang akan dijalaninya.
Kedua, Bibit.
Yakni pertimbangan berdasarkan keturunan atau keadaan orang tua sang calon pengantin. Keturunan ini pula yang nantinya sangat berpengaruh pada keadaan sosial kemasyarakatan dalam rumah tangga yang akan dijalani oleh si pengantin. Tentu ada beban psikologi sosial yang tinggi seandainya sang calon pengantin memiliki latar belakang kehidupan yang cacat dari sudut pandang sosial masyarakat.
Ketiga, Bebet.
Perangai dari sang calon pasangan mempelai perlu dipelajari untuk menjadi bahan pertimbangan yang sangat matang sebelum menuju ke jenjang pernikan. Orang yang baik bisa dilihat dari ketercapaian hasil pada suatu proses sosialisasi di keluarga.
Kalau kita mengamati di sebelah kiri-kanan ”gapura janur kuning”, terlihat pula tebu, cengkir dan pisang raja yang diikat pada dua tiang di depan ruang pertemuan resepsi. Itu semua adalah simbolisasi nasehat yang diberikan para pujangga Jawa agar mempelai mempersiapkan masa depan kehidupannya secara sungguh-sungguh.
¤ Pertama, Tebu. Tebu bisa kita artikan sebagai mantebing kalbu (mantapnya hati atau kalbu). Tanaman tebu yang rasanya manis dan menyegarkan memang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dalam acara tradisi Jawa lainnya. Hal ini bisa kita lihat pada acara mitoni (selamatan untuk anak yang berusia 7 bulan). Si anak lalu dipandu untuk menaiki anak tangga.
¤ Kedua, cengkir (buah kelapa yang masih muda). Maknanya adalah kencenging pikir. Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam mempertahankan pernikannya. Sehingga ”kaya mimi lan mituna” yang selalu bersama dalam menghadapi suka dan duka.
¤ Ketiga, pisang raja, maknanya sangat jelas sebagai simbol dari raja. Artinya pernikahan manusia adalahsalah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan; kelahiran, perkawinan dan kematian. Diibaratkan dalam resepsi itu, pengantin adalah raja sehari yang disimbolisasikan dengan pisang raja yang ditempatkanm di depan rumah. Mempelai pun didudukkan di singgasana rinengga dengan mengenakan pakaiana ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan.
Sedangkan makna simbolis yang terkandung dalam janur kuning melengkung yang berada di pintu gerbang sang tuan rumah pengantin.
Kata Janur sendiri, berasal dari kiratha basa Jawa (Othak-athik mathuk), sejane neng nur (arahnya menggapai nur=cahaya Ilahi).
Sedangkan kata kuning bermakna sabda dadi (kun fayaku-Nya Allah SWT) yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening.
Dengan demikian, janur kuning mengisyaratkan cita-cita mulia dan tinggi untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati yang bening. Nampak betapa tingginya filosofi janur kuning dalam prosesi pernikahan.
Filosofi yang tak kalah hebatnya nampak ketika mempelai pengantin laki akan dipertemukan dengan mempelai pengantin perempuan. Sebelumnya masing-masing mempelai telah dibekali dengan daun sirih (suruh) yang telah digulung untuk kemudian dilemparkan pada pasangannya masing-masing. Daun sirih ini memiliki simbol selaras, serasi dan seimbang.
”Godhong suruh lumah lan kurebe, yen ginigit pada rasane”. Sebenarnya hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berumahtangga diibaratkan sebagai daun sirih. Dalam bahtera rumah tangga hendaknya pasangan mempelai selalu seiya-sekata serta mengerjakan kewajibannya masing-masing. Suami memberi nafkah lahir dan bathin, termasuk mendidikisteri. Sehingga dia menjadi pemimpin dalam mengurusi anak-anaknya, mengelola keuangan, menyiapkan makanan dan seterusnya.
Demikian ulasan ini semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar